Sabtu, 25 Juni 2011

Cerita dibalik Suksesnya Tim NV UGM...

…A journey of thousand miles begins with a little baby step…

Sebuah prestasi yang cukup membanggakan baru saja ditorehkan oleh tiga orang mahasiswa PSIK FK UGM, yang tergabung dalam tim LCT (Lomba Cerdas Tangkas).

Tim ini  awalnya berawak Hastoro Dwiantoaji (PSIK 2007), Bayu Fandhi Achmad (PSIK 2008) dan Akbar Satria (PSIK 2008), dan berhasil mejuarai  LCT di tingkat regional DIY Jateng.
Namun, karena satu dan lain hal, susunan personil pun terpaksa dirombak menjelang lanjutan kompetisi LCT tingkat nasional. Akhirnya, Bayu Fandhi Achmad, Listyanti Aninda (PSIK 2008) dan Maria Karola Lionar (PSIK 2008) menjadi delegasi  LCT yang dikirim untuk mewakili UGM dalam ajang NersVaganza Nasional di Universitas Indonesia.

 So, read this piece of writing carefully if you want to find out how the story went and how the victory was achieved… Here we go!!


…the story begins…

Rabu,15 Juni 2011. 18:25.

Dengan gagah berani  (*ala-ala The Three Musketeers gitu..*), tiga mahasiswa PSIK FK UGM 2008 yaitu Bayu, Ninda, dan Karola (*yang semuanya masih agak-agak linglung setelah menghadapi ujian akhir blok yang cukup bikin meriang siang sebelumnya*) mengucapkan selamat tinggal untuk sementara pada kota Gudeg tercinta demi bertolak ke medan pertempuran di Jakarta (*jiah….*). 

Dengan menunggang si gagah “Senja Utama” dari Stasiun Tugu, kami memantapkan langkah demi menjemput impian di ibu kota. Sebagian besar waktu di dalam kereta kami habiskan dengan tidur-tidur ayam (*kecuali Bayu, yang bisa-bisanya tidur pules ampe mimpi segala alias tidur REM..ckckck*).
Dengan dibuai merdunya teriakan pedagang asongan yang bersahut-sahutan dalam kereta, kami membayangkan besok akan menjadi hari yang baik untuk tim kami.

Kamis,16 Juni 2011. 4:15.

Sampai di Jakarta, tidak ada acara pengalungan bunga apalagi penyambutan dengan big band lengkap (*ya iyalah….*). 
Kami bertiga ‘mendarat’ di Stasiun Jatinegara sekitar jam 4.15 pagi dengan tampang-tampang yang “amit-amit-ga-usah-dibayangin-deh” itu.
Setelah Bayu dan Ninda menunaikan sholat subuh di mushola setempat, kami pun duduk terkantuk-kantuk sambil bercanda satu sama lain sembari menunggu jemputan dari panitia datang.

Beberapa saat menunggu, akhirnya dua orang pemuda berjaket Universitas Indonesia tampak celingukan di depan kami, seolah-olah sedang mencari sesuatu yang hilang (*halah.. *). 

Singkat cerita, merekapun akhirnya menyadari bahwa tiga orang menyedihkan yang sedang duduk lesehan di depan mereka adalah orang yang sedang mereka cari.
Dan setelah menemui 3 orang delegasi dari Stikes Aisyiyah Yogyakarta yang ternyata datang bersamaan dengan tim UGM di stasiun yang sama juga, kami segera hengkang dari stasiun menuju asrama mahasiswa UI tempat peserta NersVaganza menginap selama berada di Jakarta.

Kami berenam plus 2 panitia penjemputan pun berjejalan dalam mobil silver yang segera meluncur di jalanan ibukota yang belum begitu macet pada pagi hari itu.


…the story continues; the battles get started…

Kamis, 8:30.

Sejujurnya nih ya, pertempuran hari itu kami mulai dengan sangat tidak meyakinkan.
Bayangkan, masih enak-enaknya ngaso di kamar setelah 10 jam badan ditekuk-tekuk ga karuan dalam kereta, tiba-tiba handphone bergetar tanpa ampun membangunkan saya dan Ninda.
Rupanya telepon dari panitia yang meminta kami untuk siap dalam 10 menit.
What?? You gotta be kidding me!!! 
Belum mandi, belum prepare ini itu dan harus udah segar bin wangi dalam 10 menit??
Aksi mandi plus dandan kilat pun segera dilancarkan.
Alhasil, pada sekitar jam 9.15, kami menjadi tim kedua paling akhir yang tiba di tempat lomba (*pastinya masih kusut dan nyawa belum sepenuhnya terkumpul*).
That was definitely not an impressive starting point, was it?


10:00

Semifinal kloter pertama pun dimulai.
Tim LCT UGM diadu dengan tim LCT dari Stikes Aisyiyah dan Stikes Baramuri mendapat ‘keberuntungan’ menjadi starter pada lomba siang itu guna memperebutkan kursi pertama di babak final.

Lontaran demi lontaran pertanyaan keluar dari mulut panitia.
Mulai dari Sigmund Freud sampai Briptu Norman-pun jadi bahan pertanyaan di babak semifinal pertama itu.

Persaingan skor cukup membuat ketar-ketir, namun akhirnya tim UGM bisa sedikit berbesar hati setelah memastikan satu tiket ke babak final dan mengalahkan kedua tim LCT lain dengan skor yang lumayan telak.

Tak lama kemudian, semifinal kloter dua dan tiga pun dilangsungkan yang pada akhirnya membuahkan tim LCT dari Universitas Indonesia dan Univeritas Kadiri sebagai dua finalis lain yang akan berhadapan dengan UGM di babak final.
 
13:00

The real battle was about to begin. 
Setelah mengisi amunisi dengan makan siang, sholat, dan persiapan lainnya, seluruh finalis LCT-pun diminta untuk segera kembali ke dalam arena pertarungan.

Tim UGM, seperti halnya finalis lainnya, bertekad untuk menampilkan yang terbaik.
Kami bertiga-pun berjalan agak gugup ke kursi peserta.
Jantung sudah mulai berdetak di atas 100x permenit.
Diaphoresis dan dyspnea perlahan-lahan melanda.
Ekstremitas tiba-tiba menjadi dingin dan terasa urgensi untuk miksi (>.<)

Namun, setelah melakukan nafas dalam secukupnya untuk menenangkan diri, kami pun menyatukan tangan kami di atas bel yang siap kami tekan.

And that’s how it goes... 
Kejar mengejar poin terjadi cukup sengit, terutama antara tim UGM dan UI.
Akhirnya, pertanyaan yang menentukan pun diberikan.
Babak terakhir ini merupakan babak pertaruhan nilai.
Kami harus mempertaruhkan minimal 50% dari nilai yang sudah kami dapatkan.

Jika jawaban benar, maka skor akan ditambahkan dengan nilai yang dipertaruhkan, dan sebaliknya jika jawaban salah maka skor akan dikurangi sebanyak nilai yang dipertaruhkan.

Kasus yang diberikan kurang lebih bercerita tentang seorang gadis kecil yang tinggal bersama ayah tirinya, mengeluh merasa nyeri saat berkemih, gatal di area genital dan sulit berjalan.
Setelah diskusi yang cukup alot di tim UGM, akhirnya kami memutuskan bahwa si gadis kecil mengalami sexual abuse dengan mempertaruhakan 43 poin dari total 87 poin yang saat itu kami miliki.
Sementara itu, UI menjawab vaginitis dengan mempertaruhkan 30 poin dari 55 poin yang dimiliki dan Universitas Kadiri menjawab serupa dengan UGM dan mempertaruhkan 10 poin dari 10 poin yang juga sudah mereka kumpulkan.

Sorak sorai kamipun pecah begitu mengetahui bahwa jawaban yang diminta adalah benar penganiayaan sexual pada anak. Dengan skor akhir 120 untuk UGM, 25 untuk UI dan 20 untuk Universitas Kadiri, UGM pun berhak atas gelar juara 1 LCT Nasional dalam NersVaganza 2011.

…and the story ends where it’s begun…

Jumat, 17 Juni 2011. 4:00

Sepertinya tim LCT UGM memang ditakdirkan untuk selalu kelihatan mengantuk di depan panitia. Hehehe..
Soalnya, Jumat pagi (*pagiiiiiii sekali…subuh malah…*) kami harus sudah berangkat ke Stasiun Senen untuk mengejar kereta yang akan mengantar kami kembali ke Yogyakarta.

Dengan didampingi oleh seorang mahasiswi manis FIK UI yang juga panitia NV ke Senen, kami bertiga terpaksa mengucapkan selamat tinggal yang terlalu awal pada acara yang menyenangkan ini. Tim UGM ini…

Datang paling telat, tapi pulangnya paling cepat...
 Pukul 6.30, kereta Fajar Utama pun membawa kami mengarungi perjalanan 10 jam kembali ke Yogyakarta.

15:30

Dan sampailah kami kembali di tempat semuanya bermula, Stasiun Tugu di Yogyakarta tercinta.
Capek sih memang, namun tetap tersisip rasa bangga pada diri kami.
Meskipun dengan segala keterbatasan yang ada kami tetap mampu memepersembahkan yang terbaik untuk PSIK FK UGM dan semoga kelak untuk kemuliaan profesi keperawatan…


-words by : Karola-
 



















Special thanks for :
  • Bayu n Ninda for the hard working and delightful experience we’ve shared together in the capital city (and in the damn train.. J )
  • Nuzul , Pinna, Matin 2009 yang udah ikut repot gara-gara kita…
  • Panitia NV 2011 di UI yang baik banget dan pengertian sama kita selama di sana.
  • Teman-teman 2008 yang sudah menyemangati kita dari jauh..
Yeah!! Long life nurses in the world.. 

Sabtu, 18 Juni 2011

Mahasiswa Angkat Bicara: Uji Kompetensi Perawat _part 1_

Sebagai salah satu divisi, Kasostrad memang berfungsi untuk membantu mencerdaskan mahasiswa bahkan masyarakat. Salah satunya yaitu dengan mengusahakan bagaimana mahasiswa keperawatan dapat mengenal uji kompetensi perawat sejak dini.

Mengenai adanya uji kompetensi ini, saya beranggapan bahwa uji kompetensi seharusnya memang ada karena dengan uji kompetensi seorang perawat akan memiliki kewenangan hukum dan dapat di kategorikan layak karena terdapat SIP dari PPNI Yogyakarta. Saya juga sangat setuju dengan diadakannya uji kompetensi ini agar ada standar yang sama walaupun perawat tersebut belajar di berbagai institusi yang berbeda.

Seiring berjalannya waktu, permasalahan yang akan dihadapi dengan adanya uji kompetensi ini akan semakin berkembang pula. Seperti permasalahan bagaimana dengan perawat yang terlanjur bekerja, bahkan membuka praktek, haruskah mereka juga memiliki standar yang sama dengan standar uji kompetensi perawat. Seandainya diharuskan sama, apakah perawat tersebut harus mengikuti uji kompetensi walaupun mereka telah menjadi perawat bertahun-tahun yang lalu dengan ketrampilan dan pengalaman mereka?

Sejauh ini, untuk uji kompetensi perawat baru diadakan di wilayah PPNI Yogyakarta. Dan kita sebagai calon perawat yang saat ini masih menjadi mahasiswa biasanya akan mengikuti uji kompetensi ini di wilayah Yogyakarta. Tetapi permasalahan yang muncul adalah bagaimana seandainya kita nanti bekerja disuatu daerah yang berbeda? Apakah standar uji kompetensi di wilayah Yogyakarta akan sama dengan daerah lainnya? Apakah nanti akan dipertanyakan lagi kompetensi kita jika bekerja di luar lingkungan Yogyakarta?. Alasannya sederhana, hanya karena uji kompetensi ini belum diterapkan secara nasional. Dalam penyelenggaraan uji kompetensi perawat ini dibutuhkan pihak independen untuk menjamin mutu yang bagus dan berkualitas.

Menanggapi adanya uji kompetensi ini sebenarnya dari pihak PSIK UGM sendiri telah dikenalkan dengan adanya CCNS atau Comperhensip Clinical Nursing Skills. Harapannya yaitu agar mahasiswa di PSIK UGM ini tidak akan terlalu syok menghadapi uji kompetensi perawat ini. Dari pihak prodi sendiri telah mengarahkan mahasiswa untuk mempersiapkan uji kompetensi perawat tersebut.

Selain itu, dari pihak PSIK UGM harus ada penyesuaian-penyesuaian terkait dengan uji kompetensi perawat. Seperti perlu diketahuinya standar ketrampilan yang digunakan dalam uji kompetensi. Apakah dari NANDA, NIC, NOC atau standar ketrampilan yang lain?


Dari prodi sendiri seharusnya mempersiapkan mahasiswanya dalam menghadapi uji kompetensi seperti diadakan semacam briefing, bisa juga dengan memberikan kisi-kisi uji kompetensi atau minimal melalui pendampingan. Perawat lulusan PSIK UGM yang mengikuti uji kompetensi ini tidak hanya akan membawa namanya pribadi tetapi juga membawa nama baik PSIK bahkan nama UGM secara luasnya.

Jika dibandingkan dengan institusi yang lain PSIK UGM sendiri masih kurang memfasilitasi kebutuhan yang menunjang akademik mahasiswa. Seperti ada beberapa alat yang sudah tidak layak digunakan tetapi masih tetap dipergunakan dalam pembelajaran ketrampilan mahasiswa.  Jangan merasa bahwa PSIK UGM yang paling hebat diantara insitusi keperawatan yang lain. Masih banyak institusi di luar UGM yang lebih terfasilitasi dengan lebih baik dan lebih komplit. Cobalah sesekali membuka cakrawala pengetahuan dengan mengadakan study tour ke universitas lain agar kita bisa mengetahui bagaimana output mereka. Sebenarnya kita sebagai mahasiswa yang di sini hanya beruntung saja memiliki kesempatan menjadi mahasiswa di UGM. Perbedaan  hanya terletak pada output atau fasilitas saja dengan mahasiswa keperawatan di institusi yang lain.

Arip Susianto mahasiswa PSIK  UGM ‘07

Jumat, 17 Juni 2011

INFO seputar LC

Seputar LC...
Ini ada daftar pembagian kelompok yang udah fix, beberapa peraturan yang harus ditaati (awass ntar kena hukuman lhoh, hoho) n alat-alat yang mesti kalian siapin.. 
Semangattt bwt smw peserta n panitia.. Good Luck ^^

DAFTAR KELOMPOK LEADER COMPETITION

KELOMPOK 1
1.       ARIF DWI ANTO
2.       NOVI KARTIKA
3.       WIDYA WULANDARI
4.       ANGGIA SALSABILA
5.       RIZKY INDRIYANI
6.       ADISTYA A.
7.       APRILIA PUTRI SUNARTO

KELOMPOK 2
1.       ASRI HERLINDAWATI
2.       FANIA SARI KINANTI
3.       FITRIA ERMAWITA
4.       ABDILLAH HANIF
5.       EVI KOMALA
6.       ADHIN AL KHASANAH
7.       FERI DINI KUSUMAWRDHANA

KELOMPOK 3
1.       RIZKY JUNITASARI
2.       NUR AINA MIATIWI LEITA
3.       GABI CERIA
4.       NNUR ISNAINI MULYORINI
5.       NUR AINA FEBRIANA
6.       PRATIWI WULANDHARI
7.       DINI

KELOMPOK 4
1.       ANDREAS PANGEMANAN
2.       AYU MUKHIBATUL FADHILLAH
3.       IPANG FITRI WANTI
4.       AYU MINASARI
5.       AYU EKAWATI
6.       BIRUL QODRIYAH
7.       LULU AZIZAH

KELOMPOK 5
1.       NITA HERDIANTI
2.       KOMANG AYU RATNASIH
3.       RINA TRIWIGATI
4.       ANISA RIMADHANI
5.       MUTIK SRI PITAJENG
6.       NINDI AYU
7.       TRILIS WIDYANINGRUM

KELOMPOK 6
1.       MASMUR KRISTI
2.       MEILIANA NURUL W
3.       RIZKA AYU
4.       MEILIA PUTRI UTAMI
5.       LAILY NAFIATI
6.       JIHANNI M
7.       PIPIT

KELOMPOK 7
1.       SHELLY PENNY
2.       RIZA AGUSTIN
3.       FERTIN MULYANASARI
4.       EVA NUR ROHMAH
5.       LEA DISTY
6.       MUSLIKHAH F
7.       KHOLILA



 
GROUND RULES
  1. Peserta diwajibkan hadir pukul 06.15 di depan gedung Ismangoen.
  2. Peserta dilarang membawa benda tajam dan minuman beralkohol 
  3. Peserta menggunakan kostum outbond (kaos lengan panjang, celana training, sepatu kets) 
  4. Diberlakukan sanksi yang tegas apabila peserta yang datang terlambat.


Barang-barang yang harus dibawa
Kelompok:
  • Slayer
  • Masker
  • Kacamata gaya
  • Jaket
Individu :
  • Alat tulis
  • Obat-obatan pribadi
  • Air mineral 500 ml
  • Roti
  • Kresek hitam






Senin, 13 Juni 2011

Patricia Sawo; Pahlawan Penderita HIV/AIDS yang Terbuang

Yayasan Discover to Recover Centre (DTRC) di Kitale, Kenya, merupakan penampungan anak anak yang terbuang karena HIV/AIDS. Yayasan yang pada awalnya ditujukan untuk merawat penderita HIV/AIDS, berubah menjadi penampungan anak anak terbuang tersebut. Adalah Patricia Sawo, sosok perempuan tangguh yang berempati tinggi terhadap anak anak ODHA tersebut yang  merupakan pendiri DTRC. Mantan pendeta gereja di Kenya tersebut rela mengorbankan hidupnya dengan merawat anak anak ODHA tersebut dan menjadikan DTRC sebagai rumah mereka. 


Dahulu ketika dia masih menjadi pendeta, Patricia selalu melontarkan kritik pedas terhadap jemaat yang hidupnya tidak sesuai ajaran Tuhan. Termasuk didalamnya adalah ODHA. Dalam kesombongan manusiawinya dia berkata, ‘Mereka yang ditakdirkan mengidap AIDS adalah orang yang dikutuk Tuhan. AIDS adalah kutukan atas ketidakpatuhan manusia terhadap Tuhan.’ 
Tapi semua khotbah dan kritikan yang dilontarkan merupah menjadi bumerang baginya. Tahun 1999, pagi hari ketika dirinya terbangun dari tidur, Patricia menemukan tubuhnya dipenuhi herpes zoster. Bintil bintil merah yang terasa panas dan menyakitkan yang umumnya terkait dengan HIV, meskipun tidak selalu demikian.
Dalam keadaan bingung dan hati yang hancur, Patricia melampiaskan emosinya sesaat selama 2 jam menangis di kamar mandi. Tapi karena akal sehatnya masih berjalan, dia menjalani serangkaian tes HIV. Dan hasilnya adalah positif. Patricia menduga transfusilah penyebabnya.
Satu hal yang terpikir olehnya adalah menyingkirkan virus tersebut dari tubuhnya. Dengan berdoa, berpuasa, dan mendekatkan diri pada Tuhan, Patricia berharap virus tersebut hilang darinya. Hal tersebut berlangsung selama 4 tahun. Dan tentu saja hal itu tidak membuahkan hasil.
Lelah dengan semuanya, Patricia membuka ke publik kalau dia terinfeksi HIV. Sudah bisa diduga, bencana datang. Suaminya kehilangan pekerjaan, dan anak-anaknya dipaksa keluar dari sekolah. Puncaknya, mereka sekeluarga diusir dari tempat tinggal mereka. ‘Semua hilang, tidak ada yang tersisa kecuali keluarga kecil kami. Tapi saat itu saya sadar, saya belum mati, saya harus melanjutkan hidup,’ ujarnya.
Awal mula dia mencoba berbisnis, namun lambat laun orang orang mengetahui dirinya ODHA, sehingga usahanya bangkrut. “Stigma yang kusandang saat itu sangat menyakitkan, jauh lebih sakit ketimbang virus itu sendiri,” ujarnya. Hingga akhirnya khirnya dia menemukan sebuah LSM Handicap Internasional di Belgia dan Perancis.
Pengalamannya di LSM tersebut mengubah kehidupannya 180 derajat. Tahun 2005, Patricia dan suaminya –Francis. RED.- mendirikan DRTC di Kenya yang hingga saat ini terdapat 48 anak yang di rawat disana.
Tidak hanya memberikan kasih sayang terhadapa anak-anak, Patricia juga meluaskan pelayanannya kepada banyak orang. Saat ini dia memberikan konseling kepada sekitar 20-25 orang tiap bulannya. Selain itu Patricia juga mencari donatur yang bersedia membantunya dalam penyediaan obat gratis. Hingga saat ini ada perusahaan non profit Hope San di AS bersedia membantu. Selain itu, untuk menambah penghasilannya, Patricia bekerja sebagai duta HIV/AIDS sebuah organisasi Kristen Internasional, dan bahkan masih bersedia bertani jagung dan kaacang-kacangan untuk menjamin kelangsungan hidup yayasan dan dirinya. (She’s the stronger one!) Dengan terus melakukan misinya tersebut, Patricia telah menemukan penyembuh bagi dirinya sendiri. ‘HIV telah membuat saya menjadi orang yang lebih baik. Tuhan memiliki caranNya sendiri atas penyembuhan. Jadi bagi saya pribadi, saya sudah sembuh,” katanya.


Sakit Keringat Darah...

Judulnya kok seremm amat yahh.. 
Adalah Dora, gadis 25 tahun dari Padang, Sumatra Barat, yang terkena penyakit aneh, yaitu berkeringat darah. Kelainannya ini dideritanya sejak tahun 2008. Pada mulanya penyakit ini muncul tahun 2008,dan bertambah parah menginjak tahun 2009 dengan penurunan tekanan darah yang sangat drastis. Sejak saat itu Dora sering kali masuk keluar rumah sakit, dan untuk sekali pengobatan menghabiskan dana sekitar 8 juta hingga 9 juta.
Ibu tirinya –Mawarni- menjelaskan bahwa bagian tubuh Dora yang sering mengeluarkan darah adalah ubun-ubun, sehingga Dora memangkas cepak rambutnya agar lebih mudah terlihat jika sewaktu waktu keringat darah tersebut muncul..
Saat ini Dora dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta setelah dirujuk dari RSUP M.Djamil, Padang. Untuk prngobatannya tersebut keluarga mengaku merasa terbantu dengan adanya program jamkesmas, sehingga seluruh biaya rumah sakit ditanggung oleh pemerintah.
Lalu, apakah penyakit yang diderita Dora tersebut?



Kondisi yang daialami Dora  ini disebut dengan hematidrosis (sweat blood) yang pada beberapa kondisi tertentu bisa disebabkan oleh penyakit lain atau mengalami tekanan darah tinggi.
Gejala: Keluar keringat darah di pori kulit saat mengalami stres kecemasan atau ketakutan yang teramat dalam menyebabkan pembuluh darah kecil yang menyuplai ke kelenjar keringat menjadi ketat dan mengecil, sehingga ketika pembuluh darah melebar akan terjadi pendarahan.
Penyebab: Stres, ketakutan atau kecemasan yang teramat dalam atau ekstrem yang dialami seseorang menyebabkan pelepasan suatu bahan kimia yang bisa memecah kapiler di dalam kelenjar keringat. Akibatnya ada sejumlah kecil pendarahan sehingga keringat yang keluar disertai dengan darah.

Dr Frederick Zugibe, ahli forensik dari New York menuturkan hematidrosis adalah salah satu efek samping yang ekstrem dari respons fight or flight. Sebagian besar terjadi ketika seseorang mengalami stres kecemasan atau ketakutan yang teramat dalam, seperti dikutip dari Howstuffworks, Rabu (1/6/2011).
Berkeringat darah memang bisa menakutkan dan sangat langka. Tapi biasanya kondisi ini berkaitan dengan penyakit lain seperti hemochromatosis, yaitu kondisi bahaya yang mana zat besi banyak terbentuk dan disimpan dalam tubuh sehingga membuat seseorang rentan terhadap hematidrosis.


Selain itu ada pula teori lain yang menyebutkan bahwa kecemasan atau ketakutan ekstrem yang dialami seseorang menyebabkan pelepasan suatu bahan kimia yang bisa memecah kapiler di dalam kelenjar keringat. Akibatnya ada sejumlah kecil pendarahan sehingga keringat yang keluar disertai dengan darah.

Dr Zugibe menuturkan beberapa kasus terkait dengan hematidrosis dilaporkan terjadi ketika seseorang mengalami ketakutan menjelang hukuman eksekusi serta ada juga akibat takut badai saat tengah berlayar.
Efek yang terjadi di tubuh terkait dengan hematidrosis ini meliputi kelemahan, dehidrasi ringan hingga sedang serta kecemasan tinggi yang membuat seseorang berkeringat hingga keringat darah.

http://health.detik.com dg berbagai perubahan

Senin, 06 Juni 2011

Rugaiyah Adam: Enjoy bekerja di antara ODHA...

Kurang familiar dengan nama itu? bukan masalah.

Rugaiyah adam (42 tahun), memang bukan artis sekaliber dewi persik yang doyan bikin sensasi, bukan pula Malinda Dee yang heboh beritanya akhir akhir ini, melainkan –Ria, panggilannya- seorang perawat di ibukota yang mengkhususkan diri melayani pasien ODHA di RSUD Dr. Soetomo.
Perawat Ria bekerja di ruang Poli UPIPI (Unit Perawatan Intermediate Penyakit Infeksi) sejak Poli tersebut pertama kali berdiri sekitar tahun 2004.
Dengan berbekal pengalaman pelatihan intensif tentang penanganan pasien ODHA, Perawat Ria meyakinkan diri untuk bergabung di Poli UPIPI.

Demi memahami pasien ODHA lebih lanjut, Perawat Ria rela mengambil magister psikologi di Universitas 17 Agustus.
Dan pada tahun 2005 Perawat Ria dikirim mengikuti pelatihan manajemen untuk perawatan pengobatan HIV di Thailand selama tiga bulan.

Bukan hal yang mudah ketika pertama kali bekerja untuk pasien ODHA, sering kali empati dan simpati berlebih berbaur menjadi satu, tak jarang pula Perawat Ria ikut turut bersedih bahkan menangis mengetahui kondisi pasien ODHA yang dirawatnya.
Pasalnya ketika pertama kali menangani pasien ODHA, yang ditanganinya adalah wanita ODHA yang hamil yang tertular infeksi dari suaminya dan bayinya juga turut terkenaODHA.
Namun seiring berjalannya waktu, perawat tangguh tersebut mampu mengolah perasaannya dengan lebih baik. #Nggak lucu kan kalo pasien nangis kita nya juga ikut sentrap sentrup nangis? Hehehe...

Berkat pendampingannya yang tak kenal lelah, cukup banyak ODHA yang survive dalam jangka waktu lama.
Perawat Ria tidak segan segan memberikan nomor ponselnya untuk dihubungi jika sewaktu waktu pasien yang bersangkutan membutuhkan dampingannya.
‘Kondisi pasien ODHA kan naik turun ya. Kadang kadang mereka panik lalu menelpon saya. Mereka tidak punya tempat lain untuk mengadu. Ya, akhirnya kami –perawat- yang harus siap 100%,’ ujarnya.

Perawat Ria juga tidak pernah memaksa pasiennya minum ARV (Anti Retroviral Virus).
‘Saya tidak pernah menuruh pasien saya minum ARV. Sakit banget lho rasanya. Saya cuma jelaskan konsekuensinya.’

Seperti artis yang tidak bisa sukses tanpa adanya sutradara, keluarganya selalu mensupportnya.
Suami dan tiga orang anaknya tidak pernah komplain dengan pekerjaan yang dilakukannya, mereka malah bangga dengan profesinya.
‘Mereka nggak pernah takut ataupun khawatir saya tertukar karena pengetahuan mereka tentang HIV sudah bagus,’ jelasnya. ‘Bekerja di rumah sakit memang membuat saya beresiko tinggi terinfeksi. Tapi mereka paham kok, HIV itu lebih susah menular daripada flu.’

Penerimaan keluarga Perawat Ria tidak hanya seputar tentang pekerjaannya tapi juga soal waktu bekerjanya, tak jarang dia harus lembur untuk mengebut menyelesaikan laporan.
Namun keluarganya berbesar hati menerimanya.
Sang suami bahkan bersikap romantis terhadapnya, pernah suatu malam suaminya diam diam datang ke Poli dan melihatnya sedang suntuk dengan laporan dihadapannya.
Kata dia, ‘Suami saya tiba tiba ada dibelakang saya dan berkata “Mama belum pulang ya? Saya pijetin deh.” #aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa mupeng!

Selamat Datang

Welcome to our blog..

Tentang Kita

Foto saya
Bersama HIMIKA mewujudkan civitas keperawatan untuk terus kreatif, inovatif, kritis, berkompeten, dan aspiratif serta bermoral dalam hal keorganisasian, keilmuan, pelayanan masyarakat, dan penelitian untuk menghadapi persaingan dunia global dalam dunia keperawatan

Followers

Search This Blog