Jumat, 28 September 2012

Peran Mahasiswa Keperawatan dalam Tanggap Becana


Sesuai dengan definisi mahasiswa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005, h. 696), bahwa mahasiswa merupakan individu yang belajar di perguruan tinggi. Sebagian mahasiswa masuk ke dalam kategori remaja akhir (18-21 tahun), namun sebagian pula terkategori sebagai dewasa awal pada periode pertama (22-28 tahun) (Monks, 2001, h. 262). Sebagai seorang remaja, mahasiswa pun dituntut untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya. Mahasiswa dapat dikatakan sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada sedikit di atas masyarakat. Mahasiswa juga belum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan, ormas, parpol, dsb. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme. Idealisme adalah suatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut.
Berdasarkan berbagai potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa, tidak sepantasnyalah bila mahasiswa hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negaranya. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan pula rakyat, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Oleh karena itu perlu dirumuskan perihal peran, fungsi, dan posisi mahasiswa untuk menentukan arah perjuangan dan kontribusi mahasiswa tersebut.
Salah satu fungsi mahasiswa adalah sebagai Agent of Change. Hal tersebut berlaku pula untuk mahasiwa keperawatan. Mahasiswa keperawatan di tuntut menjadi Agent of change. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara dengan tingkat bencana yang tinggi dibandingkan dengan Negara Jepang, hal ini dapat dilihat dari ancaman letusan gunung berapi, gelombang tsunami dan banjir bandang yang rentan terjadi. Salah satu cara untuk menjadi Agent of Change adalah dengan turut berpartisipasi dalam tanggap bencana Di beberapa institusi keperawatan, telah digalakkan mahasiswa keperawatan tanggap bencana. Dimanakah letak peran mahasiswa keperawatan dalam tanggap bencana? Ada beberapa hal yang dapat dilakukan mahasiswa keperawatan dalam tanggap bencana. Yang pertama, melakukan sosialisasi dalam menggalakkan tanggap bencana. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk menghidupkan kembali puskesmas. Karena puskesmas memiliki fungsi yang besar dalam pnanggulangan dan tanggap bencana. Di harapkan nanti nya melalui sosialisasi, puskesmas dapat berfungsi sebagai mana mestinya dan dapat bergerak scara mandiri bila terjadi bencana. Di samping itu, mahasiswa keperawatan juga dapat mengedukasi masyarakat di tempat yang rawan bencana. Sehingga nanti nya mereka dapat mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat terjadi bencana. Selain itu, masyarakat juga dapat membantu dalam perawatan korban nantinya saat terjadi bencana sehingga dapat mengurangi korban jiwa. Selain berfungsi sebagai edukator, mahasiswa keperawatan juga dapat bergerak langsung sewaktu terjadi nya bencana.  Sebelum berhadapan langsung dengan masalah, seorang mahasiswa keperawatan hendak nya mengetahui apa peran nya dalam penanggulangan bencana.
Yang pertama   Peran dalam Pencegahan Primer. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan mahasiswa keperawatan dalam masa pra bencana ini, antara lain:
1.mengenali instruksi ancaman bahaya;
2.mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan, air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda)
3.melatih penanganan pertama korban bencana.
4.berkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat
Pendidikan kesehatan diarahkan kepada :
  1. usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut)
  2. pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan pertolongan pertama luka bakar
  3. memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas kebakaran, RS dan ambulans.
  4. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal pakaian seperlunya, portable radio, senter, baterai)
  5. Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau posko-posko bencana
Yang kedua Peran Mahasiswa Keperawatan dalam Keadaan Darurat (Impact Phase). Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari tim kesehatan.
Mahasiswa keperawatan harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase ). Apakah sistem triase itu?
Triase merupakan kegiatan pemilahan korban-korban menurut kondisinya dalam kelompok untuk mengutamakan perawatan bagi yang paling membutuhkan.Defenisi lain Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan).
Tindakan ini berdasarkan Prioritas ABCDE yang merupakan proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik.
Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban. Triase dan pengelompokan berdasarkan Tagging
  • Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin diresusitasi.
  • Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
  • Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
  • Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien dengan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
  • Prioritas Keempat (Biru): Kelompok korban dengan cedera atau penyakit kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan transportasi
Metode Triase
  • Sistem METTAG (Triage tagging system)
  • Sistem Triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid Transportation).
  • Sistem Kombinasi METTAG dan START
  • Triase Sistim METTAG
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan tindakan atas korban. Resusitasi ditempat.
Triase Sistem Penuntun Lapangan START
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental (RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi diambulans.
Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START
Sistem METTAG atau sistem tagging dengan kode warna yang sejenis bisa digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START.Resusitasi di ambulans atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan.
           
Yang ketiga Peran mahasiswa Keperawatan di dalam posko pengungsian dan posko bencana
1.Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-hari
2.Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian
3.Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan kesehatan di RS
4.Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian
5.Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi, peralatan kesehatan
6. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwa
7.Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot)
8.Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.
9.Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan psikiater
10.Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi

Yang ke empat Peran Mahasiswa  Keperawatan dalam fase postimpact. Pada fase ini, mahasiswa keperawatan di harapkan dapat mengobati rasa trauma dari masyarakat yang tertimpa bencana dengan memberikan semangat dan bantuan bantuan materal maupun sosial. Mahasiswa Keperawatan juga dapat membantu masyarakat melalui membantu merawat luka-luka yang dialami masyarakat.
Dengan demikian, jelas lah sudah bagaimana peran mahasiswa keperawatan dalam tangap bencana di Indonesia. Walaupun pada kenyataan nya, peran mahasiswa keperawatan pada saat tanggap bencana belum terihat nyata seperti peran dokter dalam tangap bencana. Namun, karena Indonesia merupakan wilayah yang rawan terkena bencana, sudah sepantas nya setiap insitusi keperawatan di Indonesia memiliki tim tanggap bencana. Agar nanti nya, kinerja mahasiswa keperawatan di Indonesia dapat terlihat lebih nyata. (Herlina Novita Silaban)

PENERAPAN KOLABORASI PENDIDIKAN DAN PRAKTIK ANTAR PROFESI KESEHATAN oleh Herlina Novita Silaban


Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sam yang dilakukan pihak tertentu. Sekian banyak pengertian yang dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun didasari prinsip yang sam yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian kolaborasi sulit didenifisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang menjadi esensi dari kegiatan ini. Definisi Kolaborasi menurut ANA (1980)  adalah  sebagai hubungan rekanan sejati, dimana  masing – masing pihak  menghargai kekuasaan pihak lain,  dengan mengenal  dan menerima lingkup kegiatan  dan tanggungjawab masing – masing  yang terpisah maupun bersama, saling melindungi  kepentingan masing masing dan adanya tujuan  bersama yang diketahui kedua belah pihak.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator. Efektifitas hubungan kolaborasi profesional membutuhkan mutual respek baik setuju atau ketidaksetujuan yang dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership kolaborasi merupakan usaha yang baik sebab mereka menghasilkan outcome yang lebih baik bagi  pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki kualitas hidup.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan  dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Bekerja bersama dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari kolaborasi yang kita gunakan untuk menggambarkan hubungan perawat dan dokter.  Tentunya ada konsekweksi di balik issue kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan kemungkinan dapat  terwujud jika individu yang terlibat  merasa dihargai serta  terlibat secara fisik dan intelektual saat memberikan bantuan kepada pasien.
Pada saat ini setiap profesi kesehatan di tuntut untuk dapat berkolaborasi. Bukan seperti dahulu dokter mengganggap dirinya tidak perlu berkolaborasi,perawat dan farmasi juga berfikiran sama. Pada saat ini, prinsip kolaborasi telah berlaku hampir di seluruh institusi keperawatan di  Indonesia. Perawat tidak lagi hanya belajar tentang asuhan kepeawatan, tetapi perawat juga belajar tentang obat-obatan,anatomi, dan beberapa hal yang merupakan bukti bahwa kolaborasi juga telah terjadi di bidang pendidikan. Pada saat sekarang dihadapkan pada paradigma baru dalam pemberian pelayanan kesehatan yang menuntut peran perawat yang lebih sejajar untuk berkolaborasi dengan dokter.
Pada kenyataannya profesi keperawatan masih kurang berkembang dibandingkan dengan profesi yang berdampingan erat dan sejalan yaitu profesi kedokteran. Kerjasama dan kolaborasi dengan dokter perlu pengetahuan, kemauan, dan keterampilan, maupun sikap yang professional mulai dari komunikasi, cara kerjasama dengan pasien, Maupun dengan mitra kerjanya, sampai pada keterampilan dalam mengambil keputusan.
Selama ini proses perawatan pasien baik di Rumah Sakit maupun di layanan praktek kedokteran yang lain cenderung intruksional antara dokter dengan perawat, farmasis dan ahli gizi. Kecenderungan ini lebih banyak dipengaruhi oleh masih belum adanya kolaborasi interdisipliner sejak masih di lingkungan akademis. Dalam rangka meningkatkan kepuasan pasien (patient satisfation) baik di rumah sakit maupun di tempat praktek perlu dibudayakan sebuah team work antar disiplin ilmu dengan mendedepankan tujuan bersama yaitu menurunnya morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian). Setiap anggota tim memiliki kewenangan intervensi yang berbeda-beda sesuai skill dan kompetensi dalam mengelola sakit pada pasiennya. 
Salah satu syarat yang paling penting dalam pelayanan kesehatan adalah pelayanan yang bermutu. Suatau pelayanan dikatakan bermutu apabila memberikan kepuasan pada pasien. Kepuasan pada pasien dalam menerima pelayanan kesehatan mencakup beberapa dimensi. Salah satunya adalah dimensi kelancaran komunikasi antaran petugas kesehatan (termasuk dokter) dengan pasien. Hal ini berarti pelayanan kesehatan bukan hanya berorientasi pada pengobatan secara medis saja, melainkan juga berorientasi pada komunikasi karena pelayanan melalui komunikasi sangat penting dan berguna bagi pasien, serta sangat membantu pasien dalam proses penyembuhan.
Praktek kolaborasi perawat dengan dokter memerlukan  pengetahuan, sikap yang profesional mulai dari komunikasi, cara kerjasama dengan pasien maupun dokter  sampai  kepada ketrampilan perawat  dalam membuat keputusan  Pertanyaannya apakah kolaborasi dokter dan perawat telah terjadi  dengan  semestinya?  Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat profesional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian profesional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibanding perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih medukung dominasi dokter. Inti sesungguhnya dari konflik perawat dan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara keduanya.
Saat ini masih banyak Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien hanya berdasarkan intruksi medis yang juga didokumentasikan secara baik,  sementara dokumentasi asuhan keperawatan yang meliputi proses keperawatan tidak ada. Selain itu, pandangan dokter  yang selalu menganggap bahwa perawat merupakan tenaga vokasional, perawat  sebagai asistennya, serta kebijakan rumah sakit yang kurang mendukung menyebab kan prinsip kolaborasi tidak dapat berjalan dengan baik.
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim. Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan. Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, otonomi dan kordinasi.
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi dokter dan perawat terjadi secara efektif.
Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, sikap saling menerima, berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat menentukan bagaimana suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas.
Perkembangan profesi Gizi dan Keperawatan perlu upaya penataan sistem pendidikan, sehingga menghasilkan profesional Gizi dan Perawat yang bisa meningkatkan hubungan kemitraan antara kedua profesi ini dalam pengabdian kepada Masyarakat di bidang kesehatan. Pew Health profession commission (1991 ) menyarankan calon tenaga kesehatan seharusnya mempelajari kolaborasi sejak masa pendidikan, karena pada masa itulah peran sosialisasi, hubungan yang positif dan sikap saling menghargai peran masing-masing sesungguhnya dapat berkembang.
Dibeberapa institusi keperawatan telah di pelajari tentang prinsip kolaborasi. Hal ini diharapkan dapat membangun profesionalisme calon perawat sehingga nanti nya dapat berkolaborasi dengan profesi kesehatan lain nya daam menangani pasien. Perawat juga diharap kan mempelajari hal hal yang berkaitan dengan profesi kesehatan lain nya sehingga nanti nya dapat berkolaborasi dengan baik dengan profesi kesehatan yang lain.

PENERAPAN KOLABORASI PENDIDIKAN DAN PRAKTIK ANTAR PROFESI KESEHATAN


Tujuan utama profesi kesehatan adalah pengendalian penyakit dan memberikan pelayanan kesehatan secara efektif. Untuk melakukan tujuan utama dengan baik diperlukan kolaborasi antar profesi kesehatan. Kolaborasi adalah hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien/klien adalah dalam melakukan diskusi tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling berkonsultasi atau komunikasi serta masing-masing bertanggung jawab pada pekerjaan tiap profesinya. Kolaborasi profesi kesehatan ini mempunyai tujuan umum yang sama, aturan yang jelas, dan yang perlu diingat adalah berbeda keahlian artinya masing-masing profesi tidak boleh mengambil lahan profesi lain serta tidak boleh menganggap rendah posisi profesi lain.
Ironisnya, kolaborasi kesehatan yang dilakukan saat terjun di lapangan pekerjaan dihadapkan langsung pada  pasien untuk mengatasi penyakit maupun kesehatan pasien. Padahal setiap profesi kesehatan belum tentu mengetahui tugas dan peran profesi kesehatan lainnya.
Seperti observasi yang dilakukan Waluya  (2007) di rumah sakit, perawat dalam memberikan asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi dengan dokter. Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien hanya berdasarkan intruksi medis yang juga didokumentasikan secara baik,  sementara dokumentasi asuhan keperawatan yang meliputi proses keperawatan tidak ada. Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi antar profesi kesehatan, diantaranya antara dokter dengan perawat yang memandangan bahwa dokter  yang selalu menganggap perawat merupakan tenaga vokasional, perawat  sebagai asistennya, serta kebijakan rumah sakit yang kurang mendukung. Masalah sosial, jenjang profesi, dan kepribadian antar profesi sering sekali menjadi kendala untuk melakukan kolaborasi sebagai tim kesehatan yang efektif.
Maka sebelum terjun dalam lapangan pekerjaan diperlukan kolaborasi antar profesi sejak di bangku perkuliahan. Hal-hal yang dapat dilakukan agar kolaborasi antar disiplin ilmu berjalan dengan baik maka diperlukan :
1)      Kurikulum yang memuat multidisiplin dari masing-masing profesi. Menurut Pramono “Kurikulum pendidikan profesi-profesi kesehatan dicirikan sebagai kurikulum yang terintegrasi”. Kurikulum pendidikan terpadu ini sebaiknya tidak hanya memadukan berbagai disiplin ilmu dari masing-masing profesi yang terkait dengan pelayanan kesehatan perorangan (PKP) dan pelayanan kesehatan masyarakat (PKM). Supaya PKP dan PKM berjalan dengan efektif dan efisien kurikulum pendidikan sebaiknya juga memadukan Standard Operasional Procedure (SOP) dari masing-masing profesi yang terkait dengan pelaksanaan PKP dan PKM. Sebagai contoh, pada waktu memberikan PKP untuk mengendalikan BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah) tenaga yang kompeten dari berbagai profesi kesehatan seperti misalnya dokter spesialis kandungan, bidan, perawat, dan ahli gizi mempunyai peran dalam bekerjasama untuk mendeteksi dan menatalaksana kasus.
2)      Ketersediaan modul-modul (paket-paket, atau unit-unit) pendidikan di kampus yang bertemakan gejala/tanda dan penyakit bukan monopoli dari profesi kedokteran. Karena tujuan bersama dari semua profesi kesehatan (dan non-kesehatan terkait) adalah pengendalian penyakit. Disediakan pula modul yang memfasilitasi antar profesi saling berkolaborasi untuk melayani kesehatan pasien dan masyarakat. Sehingga pengetahuan tentang penyakit atau non penyakit terkait dapat dimengerti oleh profesi lain selain dokter. Meskipun dalam hal ini, profesi selain dokter tidak harus terlalu mendalami tetapi lebih pada mengerti dan memahami untuk menyelesaikan kasus-kasus kesehatan. Dalam materi ajar diberikan latihan berupa kasus-kasus kesehatan yang  dapat ditangani oleh prosesi-profesi kesehatan sesuai bidangnya untuk berlatih menganalisis dan mencari solusi secara bersama.
3)      Menyediakan pelaksanaan pembelajaran yang memfasilitasi terjadinya kolaborasi antar profesi yang dapat diwujudkan di dalam pengalaman belajar di kampus dan di tempat praktek. Pengalaman belajar di kampus seperti diskusi kelompok, tutorial, penyediaan materi, kuliah pakar, maupun skills lab. Salah satu universitas yang akan menggalakkan kegiatan pembelajaran antar profesi ini adalah Universitas Gadjah Mada (UGM). Fakultas Kedokteran yang meliputi Program Studi Pendidikan Dokter, Ilmu Keperawatan, dan Gizi Kesehatan telah merencanakan tutorial bersama antar prodi yang akan dilaksanakan antara Bulan September atau Oktober. Dalam proses ini, akan dibentuk 5 kelompok tutorial dimana masing-masing kelompok terdiri dari 10 orang dari ketiga prodi. Kegiatan ini merupakan langkah awal dalam kolaborasi antar profesi yang diharapkan dapat menjadi pijakan bagi langkah-langkah selanjutnya sehingga tercipta kolaborasi profesi yang seimbang dan professional terutama dalam praktek di lapangan nantinya.
4)      Dasar dari sebuah kolaborasi adalah kerja sama tim yang kuat. Dalam hal ini bagaimana memanajemen diri sendiri dan kelompok sangat diutamakan. Tidak lupa untuk mengenal profesi kesehatan lainnya dengan mengenal perorangan secara lebih dini. Pengadaan organisasi antar profesi sejak dari lingkungan kuliah akan sangat mendukung untuk kemajuan atau kekompakan di lapangan kerja kelak. Di berbagai universitas kini sudah digalakkan adanya penyatuan fakultas se rumpun ilmu kesehatan yang biasa disebut dengan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan atau Fakultas Kedokteran saja. Dari latar belakang ini, terbentuklah organisasi-organisasi antar program studi dalam satu fakultas yang dapat menunjang kemajuan dalam kolaborasi antar profesi kesehatan.
Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling ketergantungan (interdefensasi) untuk kerjasama dan bekerjasama. Bekerjasama dalam suatu kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan atau target yang telah ditentukan dapat tercapai. Selain itu menggunakan catatan klien terintegrasi merupakan suatu alat untuk berkomunikasi antara profesi secara formal tentang asuhan klien.
Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika : 1) semua profesi memiliki visi dan misi yang sama, 2) masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerkaannya, 3) anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik, 4) masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang bergabung dalam tim. Seperti dilansir oleh American Medical Assosiation (AMA), 1994,  setelah melalui diskusi dan negosiasi yang panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter dan perawat,  mendefinisikan istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi adalah proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat.
Menurut Ismani (2010) kolaborasi kesehatan  meliputi suatu pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator. Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekelompok professional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik, jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai sesama anggota tim. Perawat sebagai anggota membawa perspektif yang unik dalam tim inter disiplin. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan. Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lain sebagai membuat relevan pemberian pengobatan. Tim multi disiplin meliputi: tim operasi, tim infeksi nasokomial, dan lain-lain. Elemen kunci kolaborasi dalam kerjasama tim multidisiplin dapat digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi tim seperti :
a)      Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik profesional.
b)      Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya.
c)      Meningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja.
d)     Meningkatnya kofensifitas antar professional.
e)      Kejelasan peran dalam berinteraksi antar professional.
f)       Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, menghargai dan memahami orang lain.
Kolaborasi pendidikan dan praktik antar profesi kesehatan sering lebih dipandang dalam pembagian ranah antar dokter dan perawat saja karena pada praktik di lapangannya memang terjadi kebingungan pembagian ranah yag tidak dapat dimengerti oleh masyarakat awam. Campur tangan profesi lain yang seperti ahli radiologi, petugas laboratorium, analis kesehatan, maupun rekam medis sering kali tersisihkan karena tergambar sebagai pekerja dibalik layar. Namun yang lebih penting dari semua adalah jelasnya pembagian pekerjaan antar profesi entah itu hanya di belakang layar maupuns secara langsung, dalam mencapai satu tujuan bersama yaitu untuk peningkatan kualitas kesehatan yang membutuhkan kerjasama dan kolegalitas kuat. (astuti '11)

Selamat Datang

Welcome to our blog..

Tentang Kita

Foto saya
Bersama HIMIKA mewujudkan civitas keperawatan untuk terus kreatif, inovatif, kritis, berkompeten, dan aspiratif serta bermoral dalam hal keorganisasian, keilmuan, pelayanan masyarakat, dan penelitian untuk menghadapi persaingan dunia global dalam dunia keperawatan

Followers

Search This Blog