Jumat, 02 Desember 2011

Kemuliaaan dalam Jiwa Perawat dengan Semangat Pahlawan untuk Pasien dan Pengesahan RUU Keperawatan


Kemuliaaan dalam Jiwa Perawat dengan Semangat Pahlawan
untuk Pasien dan Pengesahan RUU Keperawatan

Oleh : Nuzul Sri Hertanti
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
Suatu hal yang tak jarang kita dengar mengenai guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, Bung Hatta merupakan salah satu pahlawan kemerdekaan Indonesia, RA Kartini merupakan pahlawan wanita Indonesia, lalu siapa lagi pahlawan yang kalian ketahui? Tentunya banyak pahlawan yang ada di Indonesia dengan beragam karakter dan pengabdian mereka. Siapa pahlawan idolamu? Sebelum panjang lebar menjawab siapa pahlawan panutanmu dan apa alasannya, coba kita ingat lagi apa sebenarnya pengertian pahlawan. Secara etimologi kata "pahlawan" berasal dari bahasa Sanskerta "phala", yang bermakna hasil atau buah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Dalam sebuah esai yang ditulis di majalah mingguan Time edisi 10 Oktober 2005 bertajuk The Making of A Hero, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbicara panjang lebar tentang sosok pahlawan. Menurutnya, setiap masyarakat membutuhkan pahlawan, dan masyarakat itu sendiri sesungguhnya mempunyai pahlawan. Misalnya, seorang suami yang sehari-harinya bekerja keras, banting tulang, peras keringat demi tercukupinya kebutuhan hidup keluarganya, ia menjadi pahlawan bagi istri beserta anaknya. Begitupun sebaliknya, sang istri yang dengan penuh kesabaran dan cinta kasih sayang mengasuh anaknya agar kelak menjadi anak saleh/salehah, juga pahlawan buat suami dan anak, bahkan masyarakat luas. Seperti halnya dengan seorang nurse yang merawat pasien dengan sungguh-sungguh demi kesejahteraan pasien merupakan pahlawan bagi si pasien dan banyak lagi contoh lain yang memberikan arti pahlawan bagi masyarakat. Jadi, siapa pun sebenarnya dapat tampil sebagai sosok pahlawan. Tergantung konteksnya dalam lingkup apa, dalam hal apa, serta untuk siapa. Pahlawan yang dimaksud atau dimaui Presiden SBY dalam esainya tadi tampak dalam konteks negara dan kebangsaan. Definisi pahlawan yang dirumuskannya, sebagaimana kuotasi/kutipan di bawah ini, menunjukkan kemauannya yang seperti itu "Heroes are selfless peoples who perform extraordinary acts. The mark of heroes is not necessarily the result of their action, but what they are willing to do for other and for their chosen cause. Even if they fail, their determination lives on for others to follow. Their glory lies not in the achievement, but in the sacrifice." (Susilo Bambang Yudhoyono, Time, 10 Oktober 2005, hal 58). Kalau diterjemahkan bebas kuotasi tersebut bermakna: Pahlawan adalah orang (biasa) yang tidak egois dan berbuat sesuatu yang luar biasa. Penghormatan kepada pahlawan tidak harus selalu dilihat hasilnya. Bahkan jika gagal sekalipun, kemauan kerasnya untuk berbuat sesuatu untuk orang lain akan terus dikenang. Jadi, kebesaran seorang pahlawan tidak diukur dari hasil yang dicapai, melainkan kesediaannya berkorban untuk sesamanya. Pengertian pahlawan menurut Presiden SBY tadi mengandung tiga unsur utama. Satu, orang yang tidak egois, selalu memikirkan kepentingan atau keperluan orang lain. Dua, tindakan atau perbuatan (pengorbanan) untuk orang lain. Tiga, penghormatan sebagai imbalan atas pengorbanannya.
Selanjutnya, bagaimana dengan tenaga kesehatan? Apakah mereka juga pahlawan? Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 658/Menkes/SK/IV/2005, tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Salah satu tenaga kesehatan yang akan saya soroti disini adalah perawat. Alasannya, tenaga keperawatan merupakan tenaga kesehatan terbanyak yang terdiri dari bidan dan perawat dimana pada tahun 2001 tenaga kesehatan di Indonesia yang berjumlah sekitar 510.000 orang, sekitar 350.000 orang (70%) adalah tenaga keperawatan, dan lebih separuh diantaranya bekerja di pemerintah (Depkes, 2002). Selain itu juga mengenai fakta tentang perawat yang digugat karena kemuliaannya. Pernahkah mendengar tentang kasus Bapak Misran? Seorang mantri (perawat) desa Kuala Samboja, Kutai Kertanagara, Kalimantan Timur di pedalaman Kalimantan Timur yang ditangkap karena membantu orang yang membutuhkan pengobatan. Ia dituduh melanggar UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa hanya dokter  yang berhak memberikan obat keras. Pada kasus ini, Misran memberikan obat keras pada orang yang membutuhkan pengobatan. Hanya saja, Misran punya alasan kuat mengapa dirinya dan beberapa perawat lain di Kukar memberikan obat keras. Pertama, di daerahnya tidak ada dokter. Kedua, penyakit yang diderita masyarakat hanya bisa diobati dengan obat keras. Ketiga, jika dirinya tidak mengobati bisa dijerat dengan pasal pidana di UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Karena, dalam pasal 190 ayat 1 disebutkan jika tenaga kesehatan tidak memberikan bantuan pada orang yang sakit, maka dapat dipidana. Karena itu, Misran meminta pada MK agar membatalkan pasal pasal yang bisa mempidanakan perawat yang memberi pengobatan pada masyarakat.
Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) periode 2005-2010 Achiryani S Hamid mengatakan UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dinilai merugikan perawat, khususnya yang berada di daerah terpencil. Bisa dikatakan di daerah terpencil tidak ada dokter, hanya ada perawat sehingga dalam kondisi tertentu perawat memberikan obat keras daftar G pada masyarakat. “Dalam kondisi darurat, hendaknya tidak masalah jika seorang perawat memberikan obat keras daftar G,” jelas Achiryani saat sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis(6/5/2010). Pendapat serupa juga dilontarkan Anggota DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara, Trisno Widodo yang menjadi saksi dalam sidang Widodo mengaku kebingungan dengan kasus yang dialami Misran. Dia mengungkapkan, di Kutai Kartanegara yang jumlah penduduknya mencapai 600.000 hanya mempunyai 75 dokter. Fakta tersebut membuat perawat sangat dibutuhkan masyarakat. Namun, Misran justru dipidana karena memberikan bantuan. ”Saya kira tidak sesuai jika perawat tidak boleh membantu masyarakat,” jelasnya. Sementara,  Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kalimantan Timur saat itu Edy Sukamto mengatakan, UU Kesehatan membuat perawat di daerah sangat rentan. Maka, dia meminta pasal yang mengatur tentang tidak bolehnya perawat memberi obat keras harus diatur lebih rinci.
Setelah Misran divonis bersalah kemudian dilakukan uji materi UU tersebut ke MK. Selanjutnya, MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan Misran. Dengan demikian kini para mantri boleh melakukan pelayanan kesehatan layaknya dokter. Klausul yang membolehkan mantri praktek adalah “perawat yang melakukan tugasnya dalam keadan darurat yang mengancam jiwa pasien diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien”. Keputusan MK ini disambut sorak dan gemuruh kemenangan bagi para mantri yang selama ini selalu dihantui pelanggaran hukum bila berpraktek ria. Kalau mengacu kepada praktik yang diterapkan secara international, perawat (mantri) tidak boleh praktek memberikan pengobatan karena itu wilayah dokter. Praktek keperawatan yang diperbolehkan adalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Begitu juga dokter tidak berwenang memberikan obat karena itu wilayah praktik (scope of practice) kefarmasian. Ada beberapa negara yang membolehkan perawat memberi obat namun sangat terbatas sekali pada jenis yang yg disebut obat ‘over the counter’. Itupun setelah menempuh pendidikan khusus hingga dapat gelar Practioner Nurse.  Di Indonesia praktek mantri adalah suatu keterpaksaan, di mana tenaga dokter sangat terbatas. Belum lagi dokter yang enggan ditugaskan di daerah terpencil. Dari keterpaksaan ini menjadi keterusan dan keenakan karena imbalan materi yang didapat.
Berdasar hal tersebut, saya semakin yakin bahwa perawat adalah salah satu tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Perawat sebagai tenaga kesehatan dengan proporsi terbesar (60%) dan berada di garis terdepan dalam pemberian pelayanan kesehatan selama 24 jam secara terus menerus memberikan pelayanan kepada masyarakat di setiap  sudut pelosok negeri  ini. Namun keikhlasan  perawat dalam mengabdikan diri pada bangsa ternyata belum juga dipandang penting  oleh pemerintah. Inilah wajah birokrasi Indonesia yang carut marut termasuk di bidang pelayanan kesehatan. Kewenangan yang tumpang tindih dan kepentingan materi lebih mendominasi akhirnya pihak pasienlah yang harus menanggung akibatnya baik materiil maupun moril. Di lain pihak pembuat UU terlihat jelas belum memahami geografi dan kultur Indonesia memiliki banyak desa-desa terpencil. Sehingga dianggap perlu adanya UU tersendiri untuk profesi perawat yakni UU Keperawatan. Namun, sampai hari ini pemerintah belum menunjukkan itikad baik untuk memberi perlindungan hukum pada profesi perawat. Perjuangan panjang  perawat Indonesia untuk mendapatkan payung hukum lewat UU Keperawatan sebagaimana lazimnya negara lain terkesan terus dihambat. Padahal perawat memang memerlukan UU Keperawatan yang menjadi pelindung dari berbagai gugatan yang akan muncul, terlebih untuk perawat yang bertugas di daerah terpencil yang mau tak mau harus menolong pasien yang membutuhkan perawatan.
Mungkinkah negara ini perlu menunggu korban-korban perawat lainnya masuk ke sel penjara layaknya kasus Misran yang pernah hangat hingga dibawa ke Mahkamah Konstitusi bulan Mei 2010 lalu? Kasus Perawat Misran di Kalimantan Timur adalah fakta tak terbantahkan betapa akan terancamnya pelayanan kesehatan pada daerah-daerah terpencil bila perawat selalui dihantui oleh resiko masalah hukum karena  tidak ada pengaturan  UU untuk perawat tersendiri. Kerap terjadi situasi darurat di daerah-daerah di mana tidak terdapat dokter dan proses rujukan pasien ke rumah sakit karena terkendala faktor geografis, biaya, jarak, dan ketersediaan sarana transportasi, tenaga keperawatan terpaksa dituntut bak buah simalakama karena harus  memberikan obat-obat yang termasuk daftar G untuk menyelamatkan pasien. Padahal, UU Kesehatan tak membolehkannya, tapi disisi lain,bila membiarkan pasien terlantar perawat pun terjerat hukum.
Dari sini kita dapat menyadari bahwa perawat berada pada posisi kunci dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masayarakat, sehingga diperlukan suatu regulasi yang jelas dalam mengatur pemberian asuhan keperawatan dan perlindungan hukum pun mutlak didapatkan oleh perawat. Dengan adanya Undang-undang Praktik Keperawatan maka akan terdapat jaminan terhadap mutu dan standar praktik, di samping sebagai perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima asuhan keperawatan. Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi. Uraian di atas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan.
Lalu bagaimanakah peranan mahasiswa keperawatan dalam kepentingan UU Keperawatan ini? Mahasiswa keperawatan yang tergabung dalam Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI) menyatakan sikap senasip dan sependapat akan pentingnya UU Keperawatan. Setiap memperingati Hari Keperawatan Sedunia (International Nurses Day) yang diperingati setiap 12 Mei, mahasiswa keperawatan selalu menjalin hubungan yang baik dengan PPNI setempat untuk gencar melakukan kegiatan yang beriklim pencerdasan masyarakat tentang pentingnya UU Keperawatan. Meskipun kegiatan tersebut tidak musti dalam bentuk seminar atau ceramah tentang UU Keperawatan, namun kegiatan lebih difokuskan pada bagaimana kontribusi mahasiswa keperawatan untuk masyarakat yang nantinya sebagai tolak ukur pengabdian setelah menjadi perawat.
Suara kita sebagai mahasiswa keperawatan maupun mahasiswa pada umumnya begitu berharga untuk mendukung pengesahan RUU Keperawatan. Lihatlah dunia ini mengakui kemuliaan perawat dalam menolong pasien, perawatlah yang lebih caring kepada pasien, perawat yang mengerti kondisi fisik maupun psikis pasien, sehingga tak salah jika perawat kita sebut sebagai pahlawan. Bagi saya perawat adalah pahlawan yang luar biasa, pahlawan yang mulia dan stay 24 jam untuk melayani pasien. Hidup Perawat Indonesia!! Hidup Mahasiswa !! Hidup Mahasiswa Keperawatan !! Sahkan RUU Keperawatan, karena RUU Keperawatan adalah harga mati dan penting untuk melindungi pahlawan mulia kita perawat Indonesia !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

yang mau komentar monggo

Selamat Datang

Welcome to our blog..

Tentang Kita

Foto saya
Bersama HIMIKA mewujudkan civitas keperawatan untuk terus kreatif, inovatif, kritis, berkompeten, dan aspiratif serta bermoral dalam hal keorganisasian, keilmuan, pelayanan masyarakat, dan penelitian untuk menghadapi persaingan dunia global dalam dunia keperawatan

Followers

Search This Blog