Kemuliaaan dalam Jiwa
Perawat dengan Semangat Pahlawan
untuk Pasien dan
Pengesahan RUU Keperawatan
Oleh : Nuzul Sri
Hertanti
Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah
Mada
Suatu hal yang
tak jarang kita dengar mengenai guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, Bung
Hatta merupakan salah satu pahlawan kemerdekaan Indonesia, RA Kartini merupakan
pahlawan wanita Indonesia, lalu siapa lagi pahlawan yang kalian ketahui?
Tentunya banyak pahlawan yang ada di Indonesia dengan beragam karakter dan
pengabdian mereka. Siapa pahlawan idolamu? Sebelum panjang lebar menjawab siapa
pahlawan panutanmu dan apa alasannya, coba kita ingat lagi apa sebenarnya
pengertian pahlawan. Secara etimologi kata "pahlawan" berasal dari
bahasa Sanskerta "phala", yang bermakna hasil atau buah. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti orang yang menonjol karena
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah
berani. Dalam sebuah esai
yang ditulis di majalah mingguan Time edisi 10 Oktober 2005 bertajuk The
Making of A Hero, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbicara panjang
lebar tentang sosok pahlawan. Menurutnya, setiap masyarakat membutuhkan
pahlawan, dan masyarakat itu sendiri sesungguhnya mempunyai pahlawan. Misalnya,
seorang suami yang sehari-harinya bekerja keras, banting tulang, peras keringat
demi tercukupinya kebutuhan hidup keluarganya, ia menjadi pahlawan bagi istri
beserta anaknya. Begitupun sebaliknya, sang istri yang dengan penuh kesabaran
dan cinta kasih sayang mengasuh anaknya agar kelak menjadi anak saleh/salehah,
juga pahlawan buat suami dan anak, bahkan masyarakat luas. Seperti halnya
dengan seorang nurse yang merawat
pasien dengan sungguh-sungguh demi kesejahteraan pasien merupakan pahlawan bagi
si pasien dan banyak lagi contoh lain yang memberikan arti pahlawan bagi
masyarakat. Jadi, siapa pun sebenarnya dapat tampil sebagai sosok pahlawan.
Tergantung konteksnya dalam lingkup apa, dalam hal apa, serta untuk siapa.
Pahlawan yang dimaksud atau dimaui Presiden SBY dalam esainya tadi tampak dalam
konteks negara dan kebangsaan. Definisi pahlawan yang dirumuskannya,
sebagaimana kuotasi/kutipan di bawah ini, menunjukkan kemauannya yang seperti
itu "Heroes are selfless
peoples who perform extraordinary acts. The mark of heroes is not necessarily
the result of their action, but what they are willing to do for other and for
their chosen cause. Even if they fail, their determination lives on for others
to follow. Their glory lies not in the achievement, but in the sacrifice."
(Susilo Bambang Yudhoyono, Time, 10 Oktober 2005, hal 58). Kalau
diterjemahkan bebas kuotasi tersebut bermakna: Pahlawan adalah orang (biasa)
yang tidak egois dan berbuat sesuatu yang luar biasa. Penghormatan kepada
pahlawan tidak harus selalu dilihat hasilnya. Bahkan jika gagal sekalipun,
kemauan kerasnya untuk berbuat sesuatu untuk orang lain akan terus dikenang.
Jadi, kebesaran seorang pahlawan tidak diukur dari hasil yang dicapai,
melainkan kesediaannya berkorban untuk sesamanya. Pengertian pahlawan menurut
Presiden SBY tadi mengandung tiga unsur utama. Satu, orang yang tidak egois,
selalu memikirkan kepentingan atau keperluan orang lain. Dua, tindakan atau
perbuatan (pengorbanan) untuk orang lain. Tiga, penghormatan sebagai imbalan
atas pengorbanannya.
Selanjutnya,
bagaimana dengan tenaga kesehatan? Apakah mereka juga pahlawan? Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor : 658/Menkes/SK/IV/2005, tenaga kesehatan adalah
setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Salah satu
tenaga kesehatan yang akan saya soroti disini adalah perawat. Alasannya, tenaga
keperawatan merupakan tenaga kesehatan terbanyak yang terdiri dari bidan dan
perawat dimana pada tahun 2001 tenaga kesehatan di Indonesia yang berjumlah
sekitar 510.000 orang, sekitar 350.000 orang (70%) adalah tenaga keperawatan,
dan lebih separuh diantaranya bekerja di pemerintah (Depkes, 2002). Selain itu
juga mengenai fakta tentang perawat yang digugat karena kemuliaannya. Pernahkah
mendengar tentang kasus Bapak Misran? Seorang mantri (perawat) desa Kuala
Samboja, Kutai Kertanagara, Kalimantan Timur di pedalaman Kalimantan Timur yang
ditangkap karena membantu orang yang membutuhkan pengobatan. Ia dituduh
melanggar UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam UU tersebut, disebutkan
bahwa hanya dokter yang berhak memberikan obat keras. Pada kasus ini,
Misran memberikan obat keras pada orang yang membutuhkan pengobatan. Hanya
saja, Misran punya alasan kuat mengapa dirinya dan beberapa perawat lain di
Kukar memberikan obat keras. Pertama, di daerahnya tidak ada dokter. Kedua,
penyakit yang diderita masyarakat hanya bisa diobati dengan obat keras. Ketiga,
jika dirinya tidak mengobati bisa dijerat dengan pasal pidana di UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Karena, dalam pasal 190 ayat 1 disebutkan jika
tenaga kesehatan tidak memberikan bantuan pada orang yang sakit, maka dapat
dipidana. Karena itu, Misran meminta pada MK agar membatalkan pasal pasal yang
bisa mempidanakan perawat yang memberi pengobatan pada masyarakat.
Ketua Umum
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) periode 2005-2010 Achiryani S Hamid
mengatakan UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dinilai merugikan perawat,
khususnya yang berada di daerah terpencil. Bisa dikatakan di daerah terpencil
tidak ada dokter, hanya ada perawat sehingga dalam kondisi tertentu perawat
memberikan obat keras daftar G pada masyarakat. “Dalam kondisi darurat,
hendaknya tidak masalah jika seorang perawat memberikan obat keras daftar G,”
jelas Achiryani saat sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis(6/5/2010). Pendapat
serupa juga dilontarkan Anggota DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara, Trisno Widodo
yang menjadi saksi dalam sidang Widodo mengaku kebingungan dengan kasus yang
dialami Misran. Dia mengungkapkan, di Kutai Kartanegara yang jumlah penduduknya
mencapai 600.000 hanya mempunyai 75 dokter. Fakta tersebut membuat perawat sangat
dibutuhkan masyarakat. Namun, Misran justru dipidana karena memberikan bantuan.
”Saya kira tidak sesuai jika perawat tidak boleh membantu masyarakat,”
jelasnya. Sementara, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
Kalimantan Timur saat itu Edy Sukamto mengatakan, UU Kesehatan membuat perawat
di daerah sangat rentan. Maka, dia meminta pasal yang mengatur tentang tidak
bolehnya perawat memberi obat keras harus diatur lebih rinci.
Setelah Misran divonis
bersalah kemudian dilakukan uji materi UU tersebut ke MK. Selanjutnya, MK
memutuskan untuk mengabulkan permohonan Misran. Dengan demikian kini para
mantri boleh melakukan pelayanan kesehatan layaknya dokter. Klausul yang
membolehkan mantri praktek adalah “perawat yang melakukan tugasnya dalam keadan
darurat yang mengancam jiwa pasien diperlukan tindakan medis segera untuk
menyelamatkan pasien”. Keputusan MK ini disambut sorak dan gemuruh kemenangan
bagi para mantri yang selama ini selalu dihantui pelanggaran hukum bila
berpraktek ria. Kalau mengacu kepada praktik yang diterapkan
secara international, perawat (mantri) tidak boleh praktek memberikan
pengobatan karena itu wilayah dokter. Praktek keperawatan yang diperbolehkan
adalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Begitu juga dokter tidak berwenang memberikan
obat karena itu wilayah praktik (scope of
practice) kefarmasian. Ada beberapa negara yang membolehkan perawat memberi
obat namun sangat terbatas sekali pada jenis yang yg disebut obat ‘over the counter’. Itupun setelah
menempuh pendidikan khusus hingga dapat gelar Practioner Nurse. Di
Indonesia praktek mantri adalah suatu keterpaksaan, di mana tenaga dokter
sangat terbatas. Belum lagi dokter yang enggan ditugaskan di daerah terpencil.
Dari keterpaksaan ini menjadi keterusan dan keenakan karena imbalan materi yang
didapat.
Berdasar hal
tersebut, saya semakin yakin bahwa perawat adalah salah satu tenaga kesehatan
yang menjadi ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Perawat sebagai
tenaga kesehatan dengan proporsi terbesar (60%) dan berada di garis terdepan
dalam pemberian pelayanan kesehatan selama 24 jam secara terus menerus
memberikan pelayanan kepada masyarakat di setiap sudut pelosok
negeri ini. Namun keikhlasan perawat dalam mengabdikan diri pada
bangsa ternyata belum juga dipandang penting oleh pemerintah. Inilah
wajah birokrasi Indonesia yang carut marut termasuk di bidang pelayanan
kesehatan. Kewenangan yang tumpang tindih dan kepentingan materi lebih
mendominasi akhirnya pihak pasienlah yang harus menanggung akibatnya baik materiil
maupun moril. Di lain pihak pembuat UU terlihat jelas belum memahami
geografi dan kultur Indonesia memiliki banyak desa-desa terpencil. Sehingga
dianggap perlu adanya UU tersendiri untuk profesi perawat yakni UU Keperawatan.
Namun, sampai hari ini pemerintah belum menunjukkan itikad baik untuk memberi
perlindungan hukum pada profesi perawat. Perjuangan panjang perawat
Indonesia untuk mendapatkan payung hukum lewat UU Keperawatan sebagaimana
lazimnya negara lain terkesan terus dihambat. Padahal perawat memang memerlukan
UU Keperawatan yang menjadi pelindung dari berbagai gugatan yang akan muncul,
terlebih untuk perawat yang bertugas di daerah terpencil yang mau tak mau harus
menolong pasien yang membutuhkan perawatan.
Mungkinkah
negara ini perlu menunggu korban-korban perawat lainnya masuk ke sel penjara
layaknya kasus Misran yang pernah hangat hingga dibawa ke Mahkamah Konstitusi
bulan Mei 2010 lalu? Kasus Perawat Misran di Kalimantan Timur adalah fakta tak
terbantahkan betapa akan terancamnya pelayanan kesehatan pada daerah-daerah
terpencil bila perawat selalui dihantui oleh resiko masalah hukum karena
tidak ada pengaturan UU untuk perawat tersendiri. Kerap terjadi situasi
darurat di daerah-daerah di mana tidak terdapat dokter dan proses rujukan pasien
ke rumah sakit karena terkendala faktor geografis, biaya, jarak, dan
ketersediaan sarana transportasi, tenaga keperawatan terpaksa dituntut bak buah
simalakama karena harus memberikan obat-obat yang termasuk daftar G untuk
menyelamatkan pasien. Padahal, UU Kesehatan tak membolehkannya, tapi disisi
lain,bila membiarkan pasien terlantar perawat pun terjerat hukum.
Dari sini kita
dapat menyadari bahwa perawat berada pada posisi kunci dalam pemberian
pelayanan kesehatan kepada masayarakat, sehingga diperlukan suatu regulasi yang
jelas dalam mengatur pemberian asuhan keperawatan dan perlindungan hukum pun
mutlak didapatkan oleh perawat. Dengan adanya Undang-undang Praktik Keperawatan
maka akan terdapat jaminan terhadap mutu dan standar praktik, di samping sebagai
perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima asuhan keperawatan. Saat ini
desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin
tinggi. Uraian di atas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan
tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku
penerima asuhan keperawatan.
Lalu
bagaimanakah peranan mahasiswa keperawatan dalam kepentingan UU Keperawatan
ini? Mahasiswa keperawatan yang tergabung dalam Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu
Keperawatan Indonesia (ILMIKI) menyatakan sikap senasip dan sependapat akan
pentingnya UU Keperawatan. Setiap memperingati Hari Keperawatan Sedunia
(International Nurses Day) yang diperingati setiap 12 Mei, mahasiswa
keperawatan selalu menjalin hubungan yang baik dengan PPNI setempat untuk
gencar melakukan kegiatan yang beriklim pencerdasan masyarakat tentang
pentingnya UU Keperawatan. Meskipun kegiatan tersebut tidak musti dalam bentuk
seminar atau ceramah tentang UU Keperawatan, namun kegiatan lebih difokuskan
pada bagaimana kontribusi mahasiswa keperawatan untuk masyarakat yang nantinya
sebagai tolak ukur pengabdian setelah menjadi perawat.
Suara kita sebagai
mahasiswa keperawatan maupun mahasiswa pada umumnya begitu berharga untuk
mendukung pengesahan RUU Keperawatan. Lihatlah dunia ini mengakui kemuliaan
perawat dalam menolong pasien, perawatlah yang lebih caring kepada pasien, perawat yang mengerti kondisi fisik maupun
psikis pasien, sehingga tak salah jika perawat kita sebut sebagai pahlawan.
Bagi saya perawat adalah pahlawan yang luar biasa, pahlawan yang mulia dan stay 24 jam untuk melayani pasien. Hidup
Perawat Indonesia!! Hidup Mahasiswa !! Hidup Mahasiswa Keperawatan !! Sahkan
RUU Keperawatan, karena RUU Keperawatan adalah harga mati dan penting untuk
melindungi pahlawan mulia kita perawat Indonesia !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
yang mau komentar monggo